Mantan juara renang se Amerika Serikat
selama dua kali berturut-turut itu akhirnya masuk Islam. Liz , begitu
ia akrab dipanggil, bahkan bercita-cita memiliki kolam renang khusus
untuk sisters.
Setahun lebih sudah, Liz, demikianlah
kami biasa memanggilnya, memeluk agama Islam. Aku masih ingat di suatu
siang hari, dia datang ditemani oleh teman-temannya dari Columbia
University dan menyatakan tekad untuk menjadi Muslimah. Umurnya kala itu
masih beliau, kurang dari 22 tahun. Dengan uraian air mata dan diiringi
pekikan “Allahu Akbar” gadis cantik dan tinggi semampai itu dengan nama
lengkap Elizabet Stwouwart akhirnya mengucapkan
“kalimah syahadah.” Sejak itu, keislamannya belum pernah dibuka ke orang
tuanya yang tinggal di New Haven, sebuah kota kecil di negara bagian
Connecticut Amerika Serikat.
Bapaknya seorang keturunan Belanda dan
telah menetap di Amerika sejak ratusan tahun. Sementara ibunya adalah
keturunan Ukraina yang juga telah lama turun-temurun di Amerika. Alasan
Elizabeth tidak membuka keislamannya kepada orang tuanya, menurutnya,
karena dia masih muda dan masih membutuhkan uluran tangan orang tuanya
untuk sekolah.Elizabeth adalah mantan juara renang se Amerika Serikat
selama dua kali berturut-turut (tahun 2003 dan 2004). Sebelum masuk
Islam, Liz masih menjadi pelatih renang
profesional di salah satu klub renang di New York. Dia bahkan
bercita-cita untuk mempunyai kolam renang khusus bagi sisters.
Pertengahan tahun lalu, Liz berhasil
menyelesaikan sekolahnya pada Economic School Columbia University.
Dengan mudah juga dia diterima bekerja pada sebuah perusahaan konsultan
di bidang telekomunikasi, Sprint. Dalam melakukan kerjanya sebagai
konsultan, Elizabeth harus melakukan perjalanan setiap Minggu ke
berbagai kota, dan harus pulang ke New York di akhir pekan. Salah
satunya, untuk tetap bisa belajar Islam di Islamic Forum for New Muslims
di Islamic Center.
Satu hal yang menarik dari Elizabeth ini
adalah, karena punya teman-teman dari berbagai negara, termasuk Saudi
Arabia di Columbia, yang, seringkali jika datang ke kelas selalu memakai
cadar. Biasanya saya menggoda dengan bercanda, “Sejak kapan jadi
princess Liz?” Anak pendiam ini biasanya hanya menjawab dengan senyum.
Idul Fitri lalu Elizabeth bersama para muallaf lainnya kami ajak
‘berhalal bihalal’ ala Indonesia ke berbagai rumah pejabat Indonesia di
New York. Liz, nampaknya sangat senang dengan makanan-makanan Indonesia.
Maryam Kembali ke Bumi
Bulan Maret lalu, Elizabeth turut
diundang sebagai peninjau dalam konferensi ulama Islam dan Yahudi di
Seville, Spanyol. Alhamadulillah, dengan pakaian Muslimah yang sangat
rapi, Elzabeth menjadi pusat perhatian berbagai kalangan di berbagai
tempat yang kita singgahi di Spanyol. Ketika mata-mata membelalak
melihat Elizabeth itu, saya bercanda “Anda dan pakaian Muslim anda jauh
lebih memikat ketimbang wanita-wanita yang tengah telanjang itu.” Gadis
rendah hati ini biasanya hanya menjawab “thank you Imam Shamsi”.
Di konferensi itu sendiri, banyak orang
yang hampir tidak percara kalau Elizabeth adalah orang Amerika asli.
Kebanyakan menyangka kalau dia adalah Muslimah dari Lebanon. Sheikh
Atuwajiri, orang Saudi yang juga Direktur Unesco, di suatu saat pernah
mengatakan kepada Elizabeth “I thought you are one of our princesses.”
Tentu Elizabeth hanya tersenyum seraya berkata “Thank you so much”.
Pada saat istirahat biasanya terjadi
interaksi dengan peserta-peserta lainnya. Salah seorang isteri Rabbi
Yahudi dari Jerman mendekati Elizabeth “Are you married?” Liz menjawab
“No!”. Isteri Rabbi itu bertanya kembali, “Why then you cover your
head?” Dengan tegas Elizabeth menjelaskan bahwa dalam Islam kewajiban
menutup rambut dimulai sejak seseorang mencapai umur baligh. “And I
think I am matured enough to wear it”, candanya.
Saya yang kebetulan dekat dari mereka
berdua menyelah “Mom, why then you dont wear your scarf, while you are a
married lady and a wife a Rabbi?”. Dengan senyum ibu itu menjawab bahwa
dia memakainya, tapi tidak dengan kain, melainkan menutup rambut
aslinya dengan rambut palsu. Saya dan Elizabeth hanya tersenyum
mendengar penjelasan isteri Rabbi itu.
Di saat akan berpisah, isteri Rabbi tiu
kembali lagi ke Elizabeth. Entah serius atau bercanda dia mengatakan
“Since your parents are Catholics, you are a Muslim, what do you thin if
you marry a Jewish?”. Elizabeth dengan serius menjawab “We Muslim girls
are not allowed to marry non Muslim men”. Sang ibu meninggalkan
Elizabeth dengan senyum kecut.
Satu lagi peristiwa menarik di Seville.
Ketika kami dibawa keliling kota untuk melihat-lihat dari dekat kota
klasik itu, Elizabeth tentunya ikut dengan hijab dan pakaian Muslimah
yang rapi. Sekali lagi, para turis dan masyarakat di pinggir-pinggir
jalan pasti tertarik untuk memandang Elizabeth. Entah itu karena
kecantikannya, atau karena pakaiannya yang unik. Saya yang melihat
kejadian itu biasanya bercanda, “Liz, probably they think Mary has come
again to give birth to Jesus”. Elizabeth kembali tersenyum seperti
biasa.
Membuka rahasia
Beberapa hari sekembali dari Spanyol,
Elizabeth mengirim email dan meminta buku-buku yang kiranya cocok untuk
ibunya. Menurutnya, kalau bisa mengenai “parenting in Islam”. Dengan
sigap saya jawab “You have it next Saturday”. Saya kira Elizabeth sudah
mulai mendekati orang tuanya untuk memberitahu keislamannya.
Tapi rupanya kepergian Elizabeth ke
Spanyol menjadi awal terbukanya rahasia keislamannya ke orang tuanya.
Saat di Spanyol, ibunya senantiasa berkirim email dan bertanya kegiatan
apa yang anaknya itu. Mau tidak mau, Liz, tentunya tidak ingin
menyembunyikan bahwa yang dia ikuti adalah pertemuan ulama Islam dan
Yahudi.
Mendengar “Yahudi dan Islam” sang ibunya
terkejut. Namun menurut Elizabeth, dia tidak “shocked” dan juga tidak
marah. Tapi, bapaknya belum tahu karena ibunya tidak memberitahukan
perpindahan agama anaknya. Di awal pemberitahuan Elizabeth rupanya tidak
jelas, sehingga ibunya menyayangkan anaknya berpindah agama ke Yahudi.
Tapi sepekan sekembali dari Spanyol, di saat bapaknya berulang tahun,
ibunya membuka rahasia itu. Bahwa sang anak telah berpindah ke agama
Yahudi. Elizabeth hanya terdiam dan geli.
Setelah perayaan selesai, Liz mendekati
ibunya dan menjelaskan bahwa dia tidak pindah agama ke Yahudi tapi ke
Islam. Ibunya dan bapaknya tambah bingung (confused). Bahkan adik
perempuannya menampakkan rasah marah. “You will not find a husband here.
You must go to the Middle east”.
Hari Sabtu kemarin, 22 April, cerita
terbukanya rahasia ini diceritakan oleh Elizabeth kepada teman-teman
mualaf. Matanya nampak bening, mengingat relasi dengan orang tuanya
menjadi renggang. “Saya kira mereka mulai berusaha untuk memutuskan
hubungan dengan saya”.
Saya hanya memberikan nasihat padanya,
“Teruskan saja komunikasi Anda dengan orang tua dan adik kamu. Saya
yakin, semua akan berlalu dan segera pulih seperti semula”. Saya
kemudian menceritakan pengalaman-pengalaman yang lebih pahit bagi mereka
yang menerima hidayah Allah. Dan saya ingatkan, “ujian yang menghadang
memang bukan mudah, tapi justru itu yang akan semakin menempa keimanan
dan keislaman kamu”.
Percakapan itu diiringi dengan minum air
zamzam dan makan kurma yang kami bawa dari tanah haram. Harapan kami,
semoga minuman air zamzam itu menjadi pelicin jalan yang akan ditempuh
oleh Elizabeth di masa depan. Doa kami menyertaimu, Liz![ M. Syamsi Ali/hidayatullah]
No comments:
Post a Comment