Sarah Joseph
(36) adalah muallaf asli Inggris yang masuk Islam di usia 16 tahun.
Jurnalis produktif ini selepas memeluk Islam rajin memberikan kuliah
tentang Islam di Inggris dan mancanegara. Kini, di tengah imej negatif
Islam di dunia Barat, dia berjuang membangun citra positif Islam melalui
media. Salah satunya dengan menerbitkan majalah Emel, sebuah majalah
khas yang mengupas seputar gaya hidup Islam. Emel bisa disebut satu-satunya majalah berwarna Islam yang terbit di dataran Britania Raya.
Dalam sebuah wawancara
dengan harian The Guardian yang terbit di London, Sarah yang dulunya
menganut paham Katolik, memprediksi Islam akan punya peran besar ke
depan dalam memecahkan berbagai permasalahan dunia. Dia juga banyak
bertutur bagaimana seharusnya seorang Muslim yang bermukim di negara
Barat berperilaku. Berikut penuturan ibu tiga anak yang pernah mendapat
OBE Awards tahun 2004 (untuk aktifitasnya dalam membangun dialog antar
umat beragama) disadur dari beberapa wawancaranya dengan media Inggris.
“Saya hidup selama 16
tahun tanpa Islam. Jadi manusia biasa, menjadi seorang wanita, seorang
ibu, dan editor di London. Semua hal itu telah membentuk saya menjadi
seorang pribadi yang luwes. Akan tetapi peran saya sebagai seorang ibu
terbentuk saat menjadi Muslim,” kata Sarah Joseph. Dikatakannya, seorang
Muslim punya hak-hak individu sendiri, ada persyaratan-persyaratan
tertentu. Sebagaimana individu lain juga punya hal yang sama tanpa
memperhatikan apakah dia Islam atau bukan. Namun dengan menjadi seorang
Muslim, seseorang itu akan terbentuk menjadi pribadi yang menghargai hak
individu orang lain
“Saya orang Inggris
dan berpikir seperti kebanyakan orang Barat lainnya. Saat saya
berkunjung ke negara Islam saya jadi paham aspek-aspek orang Islam,
namun saya tidak mau turut campur dengan adat kebiasaan setempat,”
imbuhnya. Sarah mengatakan menjadi anggota di dua komunitas berbeda
(Inggris dan Islam) memang sulit. Namun dia punya kewajiban untuk
menjelaskan tentang Islam sebenarnya. “Saya punya perasaan yang maha
dahsyat kala berbicara dengan mereka. Berbicara dari hati ke hati satu
sama lain. Saya berikan hidup ini hanya untuk menjadi jembatan diantara
dua komunitas ini,” katanya.
“Jadi, saya kira, Muslim Inggris dan di
Barat umumnya, harus menemukan jawaban atas apa yang terjadi saat ini.
Harus jadi jembatan antara dua dunia itu. Kita-kita yang lahir disini
dan besar dalam masyarakat Inggris, memiliki tanggungjawab untuk
menjelaskan Islam pada kalangan Barat. Saya melihat Islam punya
kapasitas memberikan yang terbaik. Syaratnya mereka (Barat-red) harus
memulainya dengan melihat Islam sebagai bagian dari solusi dan bukan
bagian dari masalah yang harus dijauhi,” kata dia.
Wanita London itu menempuh pintu lain
dalam menerjemahkan Islam untuk dunia Barat. Dia meluncurkan sebuah
majalah gaya hidup Islam dan salah satu targetnya adalah pembaca non
Muslim. Majalah itu, awalnya, dibiayai dari tabungannya sendiri. Kini
mulai dikenal khalayak dan bersanding dengan majalah-majalah terkenal
lainnya di toko-toko buku.
Emel, nama majalah itu. Berasal dari dua
huruf M dan L sebagai singkatan dari Muslim Life. Rubrik-rubriknya
menampilkan gaya hidup Islam menyangkut fashion, desain interior,
finance, entrepreneur, kesehatan, makanan, hingga kisah perjalanan. Lalu
ada juga rubrik berkebun dan feature tentang penemuan-penemuan ilmuwan
Muslim di masa lampau. Semuanya dikemas secara populer dengan
menampilkan sisi Islam yang selama ini terlupakan ditengah arus
islamofobia dan isu terorisme.
Emel pertama kali diterbitkan tahun 2003
dan hanya ada di toko-toko buku yang khusus menjual buku-buku Islam
saja. Namun dalam perkembangannya ternyata non Muslim pun menyukai
majalah itu. Sehingga sejak September 2005 distribusinya mulai diperluas
untuk umum. Catatan Wikipedia, kini Emel memiliki sirkulasi di 30
negara. Majalah ini juga bisa diakses di internet (www.emelmagazine.com)
“Hari ini berita-berita tentang Islam
identik dengan pembunuhan, penganiayaan, dan sejenisnya. Kami ingin
tampilkan sesuatu yang lain. Hal-hal normal yang berlaku dalam Islam,
yang tak banyak diangkat. Kami tujukan majalah ini utamanya bagi
kalangan muda,” kata Sarah bersemangat. Sarah berupaya mempresentasikan
Islam yang sebenarnya, dengan menonjolkan kontribusi yang telah mereka
buat, terutama untuk membangun opini masyarakat Inggris. Dengan sentuhan
layout yang menarik, pesan-pesan Islam dapat dipahami secara luas tanpa
dogma-dogma agama atau bumbu politik.
“Dalam majalah ini seorang Muslim
digambarkan, misalnya, mengenakan pakaian seperti ini, lalu makan
makanan yang seperti itu. Kami menawarkan jendela masuk ke komunitas
Islam, jauh dari sekadar ungkapan-ungkapan berbau klise,” tambahnya.
Mulai dengan modal kecil
“Seorang wartawan BBC mengira kami punya
modal hingga 5 juta Poundsterling. Saya tertawa. Kami mulai dengan modal
awal 20 ribu Poundsterling,” jelas Sarah.
“Ada yang tanya, dengan meningkatnya
perasaan takut akan Islam, inikah saatnya untuk pembaca non Muslim? Kami
musti bilang, “mari turunkan kepala kita.” Jika masing-masing kita
masih tetap membuat kubu sendiri, maka permusuhan itu tak akan pernah
hilang,” katanya.
Sarah yang pernah mendapat undangan Toni
Blair (mantan PM Inggris) itu ingin menunjukkan sesuatu yang lain. Bahwa
Islam bukan hanya ibadah shalat atau politik. Tapi Islam juga mengatur
gaya hidup.
Dulu banyak yang tidak tahu bagaimana
konsep hidup seorang Muslim. Namun kini perlahan mulai jelas setelah
majalah ini diluncurkan. Emel berhasil merebut pasar yang belum banyak
dimanfaatkan media lain dan meruntuhkan imej buruk sebagian kalangan
yang benci Islam. Oplahnya kini lebih dari 20.000 eksemplar dan memiliki
3000 pelanggan tetap. Sarah giat membantu pengembangan ide dengan
meramu Islam masa kini dan masa lalu serta mengajak pembaca Muslim
memberikan kontribusi mereka. Majalah yang bermarkas di Whitechapel,
timur London itu memiliki enam orang staf dan beberapa relawan.
Imej Islam di Barat
Sarah sedikit risau melihat beberapa
media yang dalam melaporkan hal ektrimis terlalu banyak
menambah-nambahkan isi berita. “Jika kehidupan Islam diisolasi,
ditakut-takuti, dikatakan tidak seorangpun mau berteman dengan mereka,
maka ini tidak sehat bagi masyarakat kami.,” kata dia.
“Anda tidak boleh memberi label “Islam
Fundamentalis.” Cukup disebutkan saja mereka itu telah melenceng dari
ajaran agamanya. Saya sangat tidak setuju sebagian kalangan yang
menyebut Al-Quran secara aktif telah mendorong terjadinya serangan
teror. Jika mereka katakan seperti itu, maka mereka itu sama saja dengan
Al-Qaidah. Mereka menyanyikan lagu yang sama,” tandas Sarah lagi. Dalam
pandangannya, Al-Qaidah dan yang sejenisnya menggunakan Islam dan
Al-Quran untuk melegitimasi kekerasan secara cerdik.
Perilaku orang Islam
“Jujur saja, perilaku sebagian Muslim
kadang-kadang sangat tidak membantu merubah imej Islam di Barat. Kita
perlu lebih sadar akan hal ini. Orang-orang memantau perilaku kita dan
memberi penilaian tertentu. Ada sebuah survei tahun 2002 silam.
Disebutkan 70 persen masyarakat Inggris tidak tahu apa-apa atau bahkan
tidak peduli sama sekali apa itu Islam. Islam mereka pahami hanya
berdasarkan informasi dari media saja. Celakanya media tidak menunjukkan
Islam secara proporsional. Jadi, ini benar-benar tugas kita dan sekali
lagi tergantung pada kita untuk mengubah opini tersebut. Tentunya dengan
sikap dan perilaku Islami. Orang Islam musti proaktif menunjukkan
hal-hal positif dalam Islam. Sangat banyak jalan untuk menunjukkan hal
itu,” pintanya.
Dalam sebuah percakapan live di situs
Islamonline, Sarah sempat ditanya apakah Barat tempat yang cocok bagi
seorang Muslim untuk mempraktekkan keyakinannya di tengah kampanye
sekuler. Dalam pandangannya, Allah SWT telah menciptakan dunia ini.
Jadi, bagi Muslim, hidup dimana saja bisa dan mungkin.
”Barat punya isu sekularime, memang
benar. Hal itu bisa menyerang agama dan moralitas kita. Benar. Tapi
haruskah kita membiarkan kapal pergi menuju pulau yang damai sentosa
(tanpa kita di dalamnya)? Para Nabi tidak pernah menyerah meskipun
dicerca dan dihina. Kita tidak boleh menyerah. Patut kita tunjukkan
bahwa Islam relevan dengan dunia ini. Karena itu kita perlu terus
meningkatkan kualitas dakwah sehingga Islam mudah dipahami,” tegasnya.
Masuk Islam di usia muda
Sebelum kenal Islam Sarah adalah penganut
paham Katolik Roma. Dia termasuk remaja yang aktif dalam berbagai
kegiatan agama, sosial, dan politik. Agama waktu itu benar-benar muncul
dari dalam hatinya hingga berpengaruh dalam aktifitas sosial
kemasyarakatan. Keluarganya menganut paham liberal. Mereka justru tak
peduli agama. Ibu Sarah sering berujar anaknya itu sangat agamis, meski
masih sangat kecil.
Pada usia 13 tahun, abang kandung Sarah
masuk Islam. Waktu itu karena alasan perkawinan. “Terang saja saya
sangat benci dengan keputusannya. Waktu itu dia saya tuduh menjual
keyakinan hanya karena wanita. Saya masih takut kala itu. Sebab Islam
sangat asing, dan saya banyak membaca sisi negatif tentang Islam,” kisah
Sarah.
“Prasangka buruk tentang Islam sulit
hilang. Tapi saya tahu, perasaan takut itu karena saya belum tahu Islam
yang sesungguhnya. Akhirnya saya putuskan untuk mencari informasi lebih
jauh tentang Islam. Sungguh, saya benar-benar ingin tahu. Tak berapa
lama setelah itu saya meninggalkan ajaran Katolik. Bukan karena saya
tertarik dengan Islam. Namun lebih karena kecewa aturan Paus. Saya tidak
dapat menerima aturan sentralistik yang berpusat di Roma,” lanjutnya.
”Akhirnya saya memutuskan untuk keluar
dari Kristen. Namun belum memilih Islam. Waktu itu saya “kosong”. Saya
masih berusaha mencari Tuhan. Dalam pencarian itu, Islamlah yang
kemudian lebih dulu mengalir dalam hati saya. Islam menjawab semua
pertanyaan saya. Terutama tentang Trinitas. Satu hal lagi,
Al-Quran tidak mengalami perubahan sama sekali, lain dengan Bibel.
Perlahan, saya menemukan jawaban tentang Islam yang telah mengendap
sekian lama,” aku Sarah. Sarah masuk Islam di usia sangat belia yakni
pada usia16 tahun.
Terkesan Sholat
“Jujur saja, satu hal
lagi yang membuat saya menerima Islam adalah saat melihat orang shalat.
Kala mereka bersimpuh dalam sujud dengan penuh kerendahan diri. Saya
kira inilah yang disebut “kepatuhan” atau ketundukan sebagai seorang
hamba,” kenang Sarah.
Awalnya memang berat bagi Sarah. Perlu
beberapa waktu untuk merealisasikan Islam dalam diri dan kehidupannya.
Terutama membawanya ke dalam keluarga dan lingkungan sosial. “Tapi
lama-kelamaan, keluarga melihat saya tetap dapat berkontribusi untuk
masyarakat kendati sebagai seorang Muslim. Hal itu bikin mereka gembira
dan dapat menerima saya kembali,” sebutnya.
Pada kali pertama orangtuanya memang
menolak rencana anaknya masuk Islam. Bahkan mereka mengucapkan kata
“belangsungkawa” kala Sarah mulai mengenakan jilbab. Tapi dalam
pandangan Sarah mengenakan jilbab merupakan sebuah pilihan.
“Keluarga saya menganut paham liberal.
Begitupun mendengar saya masuk Islam mereka sangat menentang. Mereka
menyangka saya akan jadi seseorang yang lain.
Konon lagi saya mengenakan jilbab persis
di awal-awal masuk Islam, mereka makin menentang. Jika saja saya tidak
mengenakannya maka semuanya akan mudah. Tapi saya memang sangat ingin
pakai jilbab. Saya benar-benar ingin jadi seorang Muslim. Perlu waktu
beberapa tahun bagi keluarga saya untuk bisa paham hal ini. Tapi kini
mereka sangat bahagia. Mereka senang dengan jalan hidup yang saya pilih
dan ternyata itu bagus. Begitupun, sayangnya mereka belum menunjukkan
sinyal untuk memeluk Islam,” ujar Sarah.
Menikah dengan pria Bangladesh
Tahun 1992 Sarah menikah dengan Mahmud,
seorang pria Inggris keturunan Bangladesh Mahmud bekerja sebagai
pengacara. Orangtua Mahmud datang ke Inggris sekitar tahun 1960.
Keluarga Sarah mulai menerimanya, karena penampilan Mahmud yang moderat.
Kini pasangan itu telah dianugerahi tiga orang anak, Hasan (11),
Sumayah (8), dan Amirah (5).
“Identitas saya sebagai seorang Muslim
sangat jelas. Memiliki identitas seperti ini tidak berlawanan dengan
kaedah umum dan saya dapat hidup secara plural dalam masyarakat yang
toleran,” katanya tegas.
”Jika kita bilang Islam hanya tentang
shalat dan politik, maka kita telah membuatnya jadi kering, cuma berisi
aturan-aturan teologis. Tapi jika kita bisa tunjukkan, misalnya pada
kawula muda (Islam) bahwa kebudayaan Islam juga telah ikut membangun
Eropa, maka kita telah beritahukan bahwa mereka itu adalah pemegang
amanah masa depan. Anak-anak muda Islam perlu tahu tentang itu.
“Hidup ini adalah ujian, arena untuk
mensucikan jiwa dan sarana untuk menerima kasih sayang Allah. Islam bagi
saya merupakan jalan termudah untuk berhubungan dengan Tuhan. Saya
berpikir kita musti fokus kepada tujuan hidup daripada hanya sekedar
menjalankan perintah atau ajaran agama saja,” katanya. “Lihatlah Islam
sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah yang harus
dijauhi,” tambah Sarah. [Zulkarnain Jalil, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
No comments:
Post a Comment