Saat Presiden Barack Obama berpidato di Universitas Kairo, Mesir, pada 4 Juni 2009 lalu, ia kerap menyebut nama Keith Ellison. Sosok Ellison di mata pemimpin Amerika Serikat (AS) itu, adalah simbol persahabatan AS dengan Islam.
”Ketika orang Muslim pertama Amerika
terpilih sebagai anggota Kongres, dia bersumpah setia pada konstitusi AS
dengan mengangkat Alquran, kitab suci yang sama dengan yang disimpan
salah seorang Bapak Bangsa kami, Thomas Jefferson, di perpustakaan
pribadinya,” kata Obama.
Kendati namanya disebut-sebut dalam
pidato Obama, namun Ellison sendiri tidak merasa disanjung. ”Saya hanya
berpikir, ya kalau apa yang saya lakukan bisa membantu Anda dalam
membuka pintu dengan dunia Muslim, maka saya bahagia bisa melakukannya,”
kata Ellison.
Ellison menilai perjuangannya adalah
memperluas peluang dan ruang gerak seluruh warga Amerika, dan bukan
hanya ditempatkan sebagai orang yang memahami Muslim dan segala hal yang berkaitan dengan Islam.
”Jika pengetahuan saya mengenai agama dan
kepekaan terhadap isu yang berkaitan dengan keyakinan membantu
menciptakan pertemanan demi Amerika dan memperpendek jurang di antara
kita, mengapa saya tidak menggunakannya?” lanjutnya.
Bagi dunia Arab, Ellison adalah simbol
bahwa Amerika telah merangkul Islam. Sementara untuk Muslim Amerika dia
adalah teladan politik. Wajar saja jika banyak pihak yang berpendapat
demikian. Karena, bagi pemilihnya yang kebanyakan kaum liberal perkotaan
Minneapollis, ibu kota negara bagian Minnesota, Ellison disukai karena
pandangan politiknya yang mengusung perdamaian, kesejahteraan pekerja,
pelestarian lingkungan, dan perlindungan hak-hak sipil.
Dia meraup 71 persen suara untuk masa
jabatan keduanya. Padahal, di daerah pemilihannya (Dapil) yang dihuni
oleh 77 persen warga kulit putih, 13 persen kulit hitam, lima persen
keturunan Asia, penduduk Muslim hanya tiga persen. Anggota serikat buruh
dan mereka yang bernama kearab-araban adalah penyokong utamanya.
”Saya Muslim Afro-Amerika, lalu bagaimana
bisa saya dipilih oleh kebanyakan orang kulit putih Kristen Lutheran di
wilayah saya?” ujarnya. Jawabnya adalah praktik hidup kesehariannya.
”Sungguh saya melangkah tanpa perencanaan matang, saya melakukannya
begitu saja,” tambahnya.
Sebagai warga pendatang, Ellison yang
pindah dari Detroit ke Minnesota pada 1987, paham benar kehidupan
masyarakat Minnesota. Keragaman latar belakang penduduk justru
dianggapnya sebagai kekuatan. Pria yang beristrikan guru matematika ini
lantas membangun jaringan dengan seluruh lapisan masyarakat, baik yang
berada di sekitar tempat tinggalnya, di pusat kota, hingga di lingkar
utara.
Ellison memang bukan politikus dadakan di
Minnesota. Pria kelahiran Detroit, Michigan, 4 Agustus 1963, ini pernah
delapan tahun mengudara di radio komunitas, membantu warga Minnesota
menyalurkan unek-uneknya. Berkat jasanya pula, pada era 1990-an
Minnesota memiliki Police-Civilian Review Board, dewan yang mencermati hubungan kepolisian dengan masyarakat.
Pada 2002, Ellison terpilih mewakili
House District 58 B di daerah pemilihan Minnesota. Ini merupakan kawasan
bisnis potensial yang demografinya beragam dan dihuni oleh warga rasis.
Di Minnesota, Ellison juga tergabung dalam keanggotakan Dewan Keamanan
Publik, Komite Kebijakan dan Keuangan, serta Komite Pemilihan dan Hukum
Publik.
Sebelum terjun ke dunia politik, Ellison
bekerja sebagai pengacara. Ayah dari empat anak (Amirah, Jeremiah,
Elijah, dan Isaiah) itu lantas memanfaatkan pengetahuannya untuk
membantu kaum papa yang terjerat masalah hukum. Ia melakukannya di bawah
naungan Legal Right Center. Ellison bertindak sebagai executive director di organisasi nirlaba tersebut.
Keyakinan baru
Dibesarkan di tengah-tengah keluarga
penganut Katolik Roma di Detroit, putra dari pasangan Leonard dan Clida
Ellison, seorang psikiater dan pekerja sosial ini menemukan keyakinan
baru. Saat itu usianya masih terbilang muda, 19 tahun.
Ellison yang kala itu sedang menempuh
pendidikan di Wayne State University ini lantas mengucapkan syahadat.
Tidak ada hal khusus yang mendorongnya masuk Islam. Keislamannya
beraliran Suni, sebagaimana umumnya yang dianut penduduk Muslim dunia.
Ellison dikenal sebagai Muslim yang taat
beribadah dan menunaikan shalat lima waktu. Meski bukan anggota pengurus
masjid Washington, jika lagi berada di kota tersebut Ellison selalu
shalat berjamaah dengan para staf Kongres yang beragam Islam di satu
ruangan di Capitol Hill. Di ruang pribadinya di Longworth House Office
Building, tergelar sajadah, sedangkan pada dinding di sudut ruangan
lainnya terbentang foto Kota Makkah.
Di bangku kuliah, Ellison kerap menulis kolom di koran kampusnya, Minnesota Daily,
dengan nama Keith E Hakim. Salah satu tulisannya yang diterbitkan pada
1989 sempat menjadi kerikil yang mempengaruhi perjalanan Ellison menuju
kursi parlemen (DPR). Tulisan tersebut memuat opini Elisson tentang
kiprah Louis Farrakhan, tokoh Nation of Islam (NOI).
Diterpa masalah tersebut, Ellison
menegaskan dia tak pernah menjadi anggota Nation of Islam. Namun, ia
tidak mengingkari kedekatannya dengan Farrakhan. Ia mengaku terlibat
dalam kegiatan Million Man March di Washington DC.
”Di pertengahan 1990-an, selama 18 bulan, saya memang pernah bekerja sama dengan personel Nation of Islam,” ujarnya.
Ellison mengungkapkan, dia bukanlah orang
yang anti-Semit. Ia bahkan menolak segala bentuk perlakuan yang
bersifat anti-Yahudi. Terlepas dari masa lalunya itu, Ellison malah
pernah mendapatkan dukungan dari The American Jewish World, koran lokal Minneapolis.
Ujian buat Ellison tak berhenti di situ.
Saingannya dari Partai Republik kala itu, Alan Fine, menuding Ellison
menerima dana kampanye dari pimpinan Council on American-Islamic
Relations (CAIR), organisasi yang oleh Fine dicap memiliki hubungan erat
dengan jaringan teroris.
”Pendiri CAIR, Nihad Awad, adalah kenalan saya. Organisasi ini mengutuk terorisme,” kata Ellison yang juga sempat dihantam isu penunggakan pajak.
Mengesankan
Terlepas dari latar belakang etnis dan
agamanya, Ellison merupakan pribadi yang mengesankan. Demikian pendapat
yang dilontarkan Wali Kota Minneapolis, RT Rybak.
”Ellison mampu mempersatukan orang. Dia
adalah satu dari segelintir orang yang dapat membuat pihak-pihak yang
berbeda paham di utara Minneapolis menjadi rukun,” komentar Rybak.
Mantan jaksa Amerika, B Todd Jones, juga
menaruh simpati pada Ellison. Ia berpendapat Ellison yang dikenalnya
sejak masih menjadi mahasiswa University of Minnesota Law School
mendapat perlakuan yang tidak adil dengan berembusnya isu-isu tersebut.
”Saya bisa memahami ketertarikan Ellison
pada Nation of Islam. Yang jelas bukan lantaran anti-Semitisme,” ucap
Jones seperti dikutip Star Tribune.
Setelah berhasil mendapatkan kursi DPR,
Ellison kembali menegaskan komitmennya. Sedari awal, ia selalu
menekankan program yang diusungnya merupakan perjuangan bersama.
”Secara individu, kami berkomitmen pada
diri sendiri untuk membangun dunia yang lebih baik, negara yang lebih
baik. Kami akan memulainya dari sini, dari 5th District, mulai dari
sekarang,” tegasnya seperti dilansir http://www.kare11.com.
Sejumlah pendukungnya dari kalangan
Muslim berharap Ellison dapat membantu menjembatani jurang antara Muslim
dan non-Muslim di AS. Sementara itu, tokoh Islam asal Philadelphia yang
selalu mendukung Ellison selama ia berkampanye, Adeeba Al-Zaman,
menilai Ellison bisa berbuat lebih dari sekadar sumbangsih untuk
agamanya.
”Yang jelas, saya mendukung dia bukan karena dia orang Islam. Saya bangga pada citra, visi, dan platform Ellison,” kata Al-Zaman.
No comments:
Post a Comment