Sebagai seorang mualaf, William Suhaib Webb
mengakui tidak gampang baginya hidup di tengah masyarakat non-Muslim di
AS. Namun ia berusaha untuk menunjukkan citra Islam yang sebenarnya dan
menciptakan kehidupan beragama yang harmonis di tengah makin menguatnya
kecurigaan dan Islamofobia di kalangan masyarakat AS.
“Sebagai mualaf yang masih berusia muda,
saya tidak sepenuhnya nyaman untuk menjadi siapa saya yang sebenarnya.
Saya mengadopsi budaya berbeda, dan saya tidak dibesarkan dengan budaya
itu,”” kata Webb dalam wawancara telepon dengan Reuters.
Webb yang kini berusia 38 tahun, masuk
Islam di awal tahun 1990-an. Keinginannya yang besar untuk menggali ilmu
tentang Islam, membuatnya memutuskan untuk pergi ke Timur Tengah.
“Saya datang ke Timur Tengah dengan euforia
yang tinggi dan konsep-konsep yang utopis,” tutur Webb yang sekarang
menjadi imam di sebuah masjid di AS dan mengelola situs untuk anak muda
Muslim.
Webb belajar syariah Islam di Universitas
Al-Azhar, Mesir. Saat belajar di Al-Azhar ia menyadari ada
kesalahpahaman yang salah tentang agama Islam yang baru dipeluknya.
“Begitu saya belajar syariah, saya mulai menyadari bahwa … wah, saya
sudah salah memahaminya, dan saya benar-benar ingin merasa nyaman dengan
siapa saya dan dengan merangkul diri saya sebagai seorang pribadi
manusia,” tukas Webb.
Semangatnya mempelajari Islam dan
aktivitasnya sebagai seorang mualaf, terutama di kalangan anak muda
selama lebih dari satu dekade, membuahkan hasil dan pada tahun 2010,
Webb terpilih sebagai salah satu dari 500 orang “Most Influential
Muslims in the World” oleh sebuah lembaga think-tank Islam di AS.
Selain membina anak-anak muda Muslim,
Webb juga dikenal sebagai sosok yang membela hak-hak kaum perempuan dan
aktif melibatkan komunitas agama dalam berbagai kegiatan.
Webb menyatakan, radikalisasi tumbuh
subur di AS ketika Muslim dan non-Muslim sama-sama meyakini bahwa Islam
tidak sesuai dengan Amerika. “Muslim adalah bagian dari kekayaan budaya
AS dan sudah menjadi bagian dari budaya kita lebih dari …siapa yang tahu
berapa lam,” imbuh Webb.
Ia tidak menutup kemungkinan adanya
ekstrimis yang membujuk anak-anak muda Muslim, menyesatkan mereka dari
ajaran Islam yang sebenarnya. Di sisi lain, anak-anak muda Muslim juga
diasingkan oleh non-Muslim karena pandangan mereka yang salah tentang
Islam dan Muslim.
Isu radikalisme Muslim di AS mencuat
kembali ketika Komite Dewan Keamanan Dalam Negeri Kongres AS menggelar
rapat dengar pendapat tentang radikalisasi di kalangan Muslim AS yang
digagas senator Peter King.
Keith Ellison, muslim pertama AS yang
menjadi anggota Kongres mengecam rapat dengar pendapat itu dan meyatakan
King secara tidak adil sudah menyamaratakan semua Muslim atas tindakan
yang dilakukan segelintir Muslim radikal.
Isu Islam dan Muslim makin panas di AS,
menyusul maraknya sikap antisyariah Islam di AS. Sedikitnya 13 negara
bagian di AS menyatakan menolak penerapan syariah Islam. Belum lagi
polemik rencana pembangunan masjid dan Islamic Center di dekat Ground
Zero yang baru saja mereda.
Menurut Webb, semua permasalahan itu
muncul karena kesalahpahaman sebagian besar masyarakat AS terhadap Islam
dan Muslim. “Muslim Amerika, mau tidak mau harus bersentuhan dengan
budaya Amerika, agar bisa memberikan jawaban pada budaya Amerika,
tentang persoalan dalam budaya Amerika,” tukasnya. (eramuslim/ln/oi)
No comments:
Post a Comment