Awalnya, suara adzan Subuh adalah “musuh” bebuyutan Wahyu Soeparno Putro.
Ia merasa, suara itu sangat terganggu tidurnya. Namun siapa nyana,
suara adzan Subuh itu pula yang justru membawanya menemukan jalan
menjadi seorang mualaf — seorang pemeluk Islam.
Sepenggal kesaksian spiritual itu seperti
tak pernah bisa dilupakan pada ingatan lelaki kelahiran Skotlandia, 28
Juli 1963. Termasuk ketika berbincang santai kepada Republika yang
menemuinya di sela-sela kesibukannya melakoni syuting sebuah program
televisi di Jakarta, Senin (4/6) lalu.
Kenangan itu ibaratnya telah menjelma
menjadi semacam sebuah napak tilas spiritual tertinggi bagi pemilik nama
lahir Dale Andrew Collins-Smith. Ia antusias — walau kadang dengan
berkaca-kaca — menceritakan kisah yang dilaluinya sekitar 12 tahun
silam. Tepatnya, sekitar pada 1999 atau lima tahun setelah
pengelanaannya ke Yogyakarta. Dale saat itu
datang ke Yogyakarta dari Australia untuk mencari nafkah dari perusahaan
kerajinan yang memekerjakan sedikitnya 700 karyawan.
Di Kota Gudeg itu, dia tinggal mengontrak
bersama teman. Namun seiring waktu berjalan, dia kemudian bertemu
dengan Soeparno. Soeparno ini adalah ayah beranak lima yang bekerja
sebagai seorang satpam. Singkat cerita Dale ini kemudian diajak menetap
bersama di rumah Soeparno sekaligus juga diangkat sebagai anak dari
keluarga besar Soeparno.
Rumah Soeparno ini letaknya hanya
sepelemparan batu saja ke arah masjid. Karena tak jauh dari masjid, tak
mengherankan kalau setiap pagi suara adzan Subuh itu seperti
meraung-raung di dekat daun telinganya. Rutinitas itu akhirnya membuat
Dale selalu terbangun di pagi hari.
Bahkan setelah menetap cukup lama di
rumah Soeparno itu, dia selalu terbangun 5-10 menit lebih awal dari
adzan Subuh. ”Ini yang membuat saya heran,” katanya. ”Padahal sejak
kecil saya tak pernah bisa bangun pagi, tapi di sana (Yogyakarta) saya
mampu merubah pola hidup saya untuk bangun pagi.”
Di tengah proses menemukan ‘hidayah’,
Dale yang telah menjadi yatim-piatu sejak usia 20 tahun itu kemudian
mulai banyak bertanya-tanya tentang Islam. Hal-hal sederhana tentang
Islam seperti sholat sampai puasa menjadi pertanyaan yang mengusik
batinnya. Terkadang ia pun tak sungkan untuk bertanya kepada
rekan-rekannya yang menganut Islam.
Pergaulan yang kian terjalin akrab dengan
lingkungan Yogya itu ternyata melahirkan pula sebuah sikap toleransi
beragama pada diri Dale. Ketika Ramadhan tiba dan rekan-rekannya
berpuasa, dia seakan terpanggil untuk ‘ikut-ikutan’ berpuasa. ”Awalnya
saya cuma ingin mengetahui saja seperti apa sih rasanya puasa,” kata
dia. ”Tetapi setelah tahun ke dua atau ketiga di sana, puasa saya
ternyata sudah full hingga puasa tahun kemarin,” sambungnya dengan penuh
bangga.
Eksperimentasi dalam menjalani ibadah
puasa maupun rutinitas bangun pagi menjelang adzan Subuh itu kemudian
memberikan pula semacam perasaan tenang yang menjalar di dalam diri
Dale. ”Saat itu saya merasa seperti sudah sangat dekat saja dengan
orang-orang di sekitar saya,” katanya sambil mengaku pada fase tersebut
dia sudah semakin fasih berbicara Indonesia.
Tak merasa cukup terjawab tentang Islam
pada rekan sepergaulan, Dale kemudian memberanikan diri untuk bertanya
kepada ketua pengurus masjid dekat tempatnya tinggal. Tapi sekali lagi,
hasratnya untuk mengetahui Islam masih belum terpuaskan. Maka pada suatu
ketika, bertemulah dia dengan seorang ustad bernama Sigit. Ustad ini
masih berada satu kampung dengan tempat tinggalnya di kediaman Soeparno.
”Waktu saya ceritakan tentang pengalaman
saya, dia malah berkata kepada saya,”Sepertinya malaikat mulai dekat
dengan kamu’,” kata Dale menirukan ucapan Pak Sigit.
Mendengar ucapan itu, Dale merasakan
seperti ada yang meledak-ledak di dalam dirinya. ”Semuanya seperti jatuh
ke tempatnya,” kata dia menggambarkan situasi emosional dirinya ketika
itu. ”Saat itu saya juga sudah bisa menangkap secara akal sehat tentang
Islam,” ujarnya lagi. Ledakan yang ada di dalam diri itu kemudian
membawa Dale terus menjalin hubungan dengan Pak Sigit. Dari sosok ustad
itu, dia mengaku mendapatkan sebuah buku tentang Islam dan muallaf. Dan
pada saat itu pula, niatnya untuk mempelajari sholat kian menggelora.
Di saat hasrat di dalam diri semakin
‘merasa’ Islam, Dale kemudian bertanya pada Soeparno. ”Saya merasa lucu
karena sudah seperti merasa Muslim,” kata dia kepada Soeparno. ”Tetapi
bagaimana caranya,” sambung dia kembali. Mendengar ucapan pria bule,
Soeparno sangat terkejut. Lantas lelaki ini menyarankan agar Dale masuk
Islam saja melalui bantuan Pak Sigit.
Lantas tidak membutuhkan waktu lama lagi,
sekitar medio 1999, Dale Andrew Collins-Smith kemudian berpindah agama
sekaligus berganti nama menjadi Wahyu Soeparno Putro. Dan, prosesi
‘hijrah’ itu dilakukannya di masjid yang mengumandangkan adzan Subuh
dekat rumahnya. Yang dulu dianggap “mengganggu” tidurnya…. (akb/riol )
No comments:
Post a Comment