Mary Fatima Kaouch
terlahir dari keluarga yang memegang prinsip iman Katolik, 1964 silam,
di kota Rosrath, Negara bagian Nordrhein Westfalen, Jerman. “Sejak kecil
saya dididik dengan agama Kristen katolik. tapi Alhamdulillah, waktu
lahir ayah saya memberikan nama Fatima dan ibu memberikan nama Maria.
Dari situ sebetulnya perjalanan Islam sudah mulai,” ungkap Siti Maryam
sepenggal waktu lalu.
Ia memulai pendidikan dasarnya di Jerman
selama 9 tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke jenjang sekolah
kesejahteraan keluarga yang diselesaikannya selama 2 tahun.
Berbeda dengan siswa lain di Sekolah
Dasar, Mary banyak sekali bertanya tentang ajaran agama yang dianutnya.
Kenapa Isa disebut anak Tuhan? kenapa Adam tidak disebut anak Tuhan?
Kenapa Maria disebut ibu Tuhan? Dan pertanyaan lain yang mengusik
hatinya.
“Banyak orang yang yang menghindari
pertanyaan saya. Ada yang tidak dijawab, ada yang dijawab seadanya, ada
yang bilang kapan-kapan lagi saya jawab, ada yang bilang nanti kalau
kamu sudah besar. Semua itu tidak memuaskan rasa penasaran saya,” kata
penulis buku Hidayah dan Inayah ini.
Negara Jerman, tempat rezim Fasis, Nazi,
pernah berjaya ini melarang warganya membahas masalah agama. Kondisi
seperti ini sangat menekan Mary sehingga tidak bisa leluasa mencari
kebenaran yang selama ini tidak ditemukan dalam ajaran katolik yang dia
anut.
Akhirnya di usia yang masih muda, 16
tahun, Mary keluar dari agama Katolik dan merasa tidak tertarik lagi
menanyakan kegelisahannya kepada orang lain. Mulai saat itu ia mengikuti
suara hatinya.
Mary tergolong anak ‘bengal’. Setiap
kali diminta ke Gereja, ia turut. Namun, begitu tiba di depan pintu,
Mary malah berputar arah ke restoran. “Bagi saya tidak penting berdoa di
Gereja. Langsung saja berdoa kepada Tuhan (Gott) dari hati saya,” tutur
Mary, setelah nyaris putus asa menemukan kebenaran ajaran agamanya.
Tak hanya itu, Mary bahkan termasuk
perokok berat. Setiap hari ia bisa menghabiskan 3 bungkus rokok merk
Marlboro. Kebiasan menghisap zat adiktif ini berhenti total ketika ia
masuk Islam, kelak.
Meskipun ‘bengal’, Mary terbilang sukses
di dunia pendidikan. Di Sekolah Kesejahteraan Keluarga, Mary lulus
dengan nilai yang sangat memuaskan, bahkan mendapat penghargaan dari
pemerintah, atas prestasinya itu .
Selepas itu, hobi masak yang dimilikinya
sejak kecil mendorong dia untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah
kejuruan, Gastronomi, selama 3 tahun. Selama menempuh studi, Mary banyak
mengikuti perlombaan memasak di hotel berbintang 3 hingga 5, dan selalu
menjadi juara.
Menginjak usia 19 tahun, selain kuliah,
Mary pun bekerja paruh waktu di hotel Haus Lyskirchen, Jerman, yang
diisinya di hari libur. Setelah dua tahun, Mary pindah ke hotel
Intercontinental di kota Koln.
Karena kejeniusannya Mary memperolah
penghargaan Grand Diner Amical Des Grand Chapitre L’europe tahun 1985
(Koki terbaik dalam penyediaan Makan malam yang besar dan eksklusif).
Setahun kemudian ia pindah lagi ke hotel Haus Lyskirchen di koln yang
jaraknya kira-kira 30 km dari kota bonn dan mendapatkan kembali
penghargaan Diner Amical.
Selang 6 bulan ia ditawari jabatan
sebagai Kepala Eksekutif di hotel Haus Lyskirchen. Namun Mary malah
memilih mundur dan membuka restoran pribadi.
Mary dengan usia yang masih relatif muda
telah menjadi pengusaha sukses. Akan tetapi, uang yang banyak tidak
membuat Mary merasa tenang. Masih ada sesuatu yang tetap mengusik
hatinya. Inilah yang membuat Mary selalu berpindah-pindah tempat.
Belum puas meraup uang dari restoran
pribadinya, Mary kemudian bekerja sebagai Bandar Judi di salah satu
Kasino di Bonn Jerman. “Perolahan uang yang cukup besar tidak memberikan
kebahagiaan yang dicari. Hidup dengan hati gelisah karena melihat
kerusakan hati orang lain. Lalu seorang kolega mendorong saya keluar dan
mencari jalan baru,” urai wanita yang sempat menjadi nara sumber
International Seminar and Workshop on Education di beberapa perguruan
tinggi di Bandung dan Jakarta ini.
Suatu hari saat Mary berada di kafetaria
ia bertemu dengan warga muslim Indonesia yang bekerja di kedutaan Besar
Indonesia di Jerman, bernama Pandji Abdullah Garna.
“Saya habis kerja selalu ketemu dia di
kafetaria, karena dia sama koleganya main catur setiap sore di
kafetaria. Kita saling menatap dan akhirnya kenalan. Allah yang sudah
mengaturnya,” tutur penggemar minuman Capuccino ini.
Sekitar 4 tahun berkenalan, Mary
kemudian diajak menikah oleh Pandji di negerinya, Indonesia. Mary
awalnya ragu, namun kemudian ia pun menyetujui permnintaan Pandji. Maka
pada tahun 1992 Mary bersama Pandji berangkat berlibur ke Indonesia.
“Orang Islam kalau di Indonesia menikah
harus dengan orang Islam lagi,” tutur Mary mengenang ungkapan Pandji.
Maka, sehari sebelum menikah Mary pun meminta syarat kepada keluarga
Pandji untuk menerangkan agama Islam. “Saya minta penjelasan tentang
Islam karena itu menyangkut keyakinan hubungan yang sangat dalam, saya
harus kenal dulu,” ungkapnya.
Mary pun diundang salah satu Kyai yang
fasih berbahasa Inggris untuk menerima penjelasan ajaran Islam. Mary
kemudian mencurahkan kegelisahan yang selama 15 tahun ini terbelenggu.
Ia bertanya tentang konsep trinitas yang dianut agama Kristen, semisal
kenapa Siti Maryam dipanggil ibu Allah, padahal Allah itu satu dan ia
diciptakan oleh Allah? Bbegitu pun dengan Yesus dan puluhan pertanyaan
lainnya yang dulu sempat mengganggu pikiran dan hatinya.
Seluruh pertanyaan dijawab tuntas oleh
Kyai tersebut, diiringi lantunan ayat alquran untuk menguatkan jawaban.
Tak terasa rasa haru menyeruak di kedalaman hatinya. “Ini rahasia yang
saya cari bertahun-tahun, saya tanya banyak pertanyaan dia jawab dari
Alquran sampai menyentuh hati, di situ saya tertarik ajaran Islam. Allah
benar-benar memberi hidayah yang sangat besar,” kenang Mary sambil
menitikan air mata.
Kegelisahan Mary kini terjawab sudah ia
pun memutuskan untuk memeluk Islam dan menikah secara Islam di daerah
Sukahaji, Gegerkalong, Bandung. Nama Maryam diambil atas usul seorang
teman. Maryam Binti Imran sebagaimana diketahui adalah perempuan saleh
yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada Allah.
Ihwal kepindahan keyakinan ini tidak
diberitahukan Mary kepada orangtuanya. “Saya tidak memberi tahu ibu.
Saya takut karena orangtua Katolik, dia pasti bilang tidak boleh. Kalau
bilang tidak boleh, maka saya akan nurut. Namun, sekarang Orangtua saya
sudah tahu saya telah masuk Islam”, tutur perempuan yang kerap melakukan
kontemplasi (perenungan) ini.
Nama Siti Maryam sebagai pengabdi Allah
kemudian terwujud buktinya 9 tahun kemudian. Mary semakin aktif
berdakwah dari satu masjid ke masjid lainnya baik di wilayah pedesaan
ataupun di perkotaan, sekitar Bandung. Ia tidak malu pergi ke tempat
ceramah dengan hanya berkendara sepeda motor, atau bahkan berjalan kaki.
Saat disapa Bu Mary kesini bersama siapa? Ia selalu menjawab, “bersama
Allah” .
Bagi Mary dasar keislaman harus
dibuktikan dengan Ilmu, iman dan amal saleh. “Iman dan kesalehan adalah
dua hal yang bersatu padu. Tidak ada Iman, tanpa kesalehan, tidak ada
kesalehan tanpa iman. Itulah sebabnya Allah sering menyebut dua kata ini
secara bersamaan. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh,” pungkas
Mary.
No comments:
Post a Comment