Rendang Merupakan makanan khas Sumatera Barat. Makanan ini diklaim salah satu dari 50 makanan terenak di dunia versi CNN.
Ibu Erika menjalankan usaha berjualan rendang dengan produk atas namanya “Erika“. Awalnya di awal tahun 2000, Erika mulai membuat rendang mengikuti jejak ibu mertuanya yang lebih dahulu menjalankan bisnis yang sama dengan merek “Yolanda”.
“Jadi ini turun temurun dari mertua ibu, dia lebih dulu mereknya Yolanda,”
Usaha awalnya dibantu oleh anak-anaknya yang hanya meneruskan sekolah hingga jenjang SMA. Rendang-rendang dijual di kawasan Payakumbuh, hingga ke Padang. Dari sekolah ke sekolah, toko ke toko, sampai kantor ke kantor.
Meski kadang ada saja kendala yang menghadang seperti kenaikan harga bahan baku. tak kenal lelah dia dan keluarga terus menjalankan usahanya. Hingga 14 tahun sampai sekarang dia telah memiliki 12 orang karyawan yang membantunya memasak, dan 7 orang yang menjadi agen penjual.
“Dulu rumah semi permanen, dapur hanya batu-batu saja. Sekarang rumah sudah ada, mobil, sawah dan tanah,” katanya seraya bersyukur.
Banyak produk yang dibuat oleh Erika, tak hanya rendang basah yang menjadi salah satu menu favorit restoran Padang, tapi juga ada rendang telur, rendang suwir, juga rendang paru.
Harganya pun bervariasi, rendang basah dijual Rp 200 ribu/kg, sama dengan rendang paru. Sedangkan rendang telur dijual Rp 40 ribu, meski di pameran-pameran, Erika sengaja menaikkan harga.
“Tidak ada resep khusus, saya buat hanya pakai bumbu rendang biasa,” katanya sambil sesekali melayani pembeli.
Dalam sehari, Erika bisa memproduksi 80 kg rendang telur, 20 kg rendang daging dan 10 kg rendang paru. Rendang daging dan rendang paru bisa tahan sampai 3 bulan, dan rendang telur 1 bulan. Banyak orang yang membeli produknya untuk disimpan dan dimakan kemudian hari.
“Yang naik haji bisa bawa buat bekal. Biasanya ramai kalau musim haji,” kata warga Payakumbuh ini.
Tak hanya di Indonesia, salah satu agen penjualnya menjajakan makanan khas ini ke negeri tetangga, Malaysia. “Tapi agak sepi,” kata ibu 51 tahun ini.
Bisnis dan kisah suksesnya berjualan rendang menjadi pemicu semangat warga Payakumbuh lain. Sekarang sudah banyak warga Payakumbuh yang berjualan produk serupa, yaitu memproduksi rendang menjadi suatu industri daerah Payakumbuh.
Copyright : detik.com
Seorang Ibu warga Payakumbuh, namanya Ibu Erika
asal Sumatera Barat salah satu yang beruntung karena Rendang. Ibu
dengan 5 orang anak ini bisa membeli mobil, rumah hingga sawah dari
Bisnis rendang.
Rendang Merupakan makanan khas Sumatera Barat. Makanan ini diklaim salah satu dari 50 makanan terenak di dunia versi CNN.
Ibu Erika menjalankan usaha berjualan rendang dengan produk atas namanya “Erika“.
Awalnya di awal tahun 2000, Erika mulai membuat rendang mengikuti jejak
ibu mertuanya yang lebih dahulu menjalankan bisnis yang sama dengan
merek “Yolanda”.
“Jadi ini turun temurun dari mertua ibu, dia lebih dulu mereknya Yolanda,”
“Jadi ini turun temurun dari mertua ibu, dia lebih dulu mereknya Yolanda,”
Usaha awalnya dibantu oleh anak-anaknya
yang hanya meneruskan sekolah hingga jenjang SMA. Rendang-rendang dijual
di kawasan Payakumbuh, hingga ke Padang. Dari sekolah ke sekolah, toko
ke toko, sampai kantor ke kantor.
Meski kadang ada saja kendala yang
menghadang seperti kenaikan harga bahan baku. tak kenal lelah dia dan
keluarga terus menjalankan usahanya. Hingga 14 tahun sampai sekarang dia
telah memiliki 12 orang karyawan yang membantunya memasak, dan 7 orang
yang menjadi agen penjual.
“Dulu rumah semi permanen, dapur hanya
batu-batu saja. Sekarang rumah sudah ada, mobil, sawah dan tanah,”
katanya seraya bersyukur.
Banyak produk yang dibuat oleh Erika,
tak hanya rendang basah yang menjadi salah satu menu favorit restoran
Padang, tapi juga ada rendang telur, rendang suwir, juga rendang paru.
Harganya pun bervariasi, rendang basah
dijual Rp 200 ribu/kg, sama dengan rendang paru. Sedangkan rendang telur
dijual Rp 40 ribu, meski di pameran-pameran, Erika sengaja menaikkan
harga.
“Tidak ada resep khusus, saya buat hanya pakai bumbu rendang biasa,” katanya sambil sesekali melayani pembeli.
Dalam sehari, Erika bisa memproduksi 80
kg rendang telur, 20 kg rendang daging dan 10 kg rendang paru. Rendang
daging dan rendang paru bisa tahan sampai 3 bulan, dan rendang telur 1
bulan. Banyak orang yang membeli produknya untuk disimpan dan dimakan
kemudian hari.
“Yang naik haji bisa bawa buat bekal. Biasanya ramai kalau musim haji,” kata warga Payakumbuh ini.
Tak hanya di Indonesia, salah satu agen
penjualnya menjajakan makanan khas ini ke negeri tetangga, Malaysia.
“Tapi agak sepi,” kata ibu 51 tahun ini.
Bisnis dan kisah suksesnya berjualan
rendang menjadi pemicu semangat warga Payakumbuh lain. Sekarang sudah
banyak warga Payakumbuh yang berjualan produk serupa, yaitu memproduksi
rendang menjadi suatu industri daerah Payakumbuh.
Copyright : detik.com
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-ibu-erika-dengan-bisnis-rendang-lezat-tahan-lama.html#sthash.VP8Vok73.dpuf
Seorang Ibu warga Payakumbuh, namanya Ibu Erika
asal Sumatera Barat salah satu yang beruntung karena Rendang. Ibu
dengan 5 orang anak ini bisa membeli mobil, rumah hingga sawah dari
Bisnis rendang.
Rendang Merupakan makanan khas Sumatera Barat. Makanan ini diklaim salah satu dari 50 makanan terenak di dunia versi CNN.
Ibu Erika menjalankan usaha berjualan rendang dengan produk atas namanya “Erika“.
Awalnya di awal tahun 2000, Erika mulai membuat rendang mengikuti jejak
ibu mertuanya yang lebih dahulu menjalankan bisnis yang sama dengan
merek “Yolanda”.
“Jadi ini turun temurun dari mertua ibu, dia lebih dulu mereknya Yolanda,”
“Jadi ini turun temurun dari mertua ibu, dia lebih dulu mereknya Yolanda,”
Usaha awalnya dibantu oleh anak-anaknya
yang hanya meneruskan sekolah hingga jenjang SMA. Rendang-rendang dijual
di kawasan Payakumbuh, hingga ke Padang. Dari sekolah ke sekolah, toko
ke toko, sampai kantor ke kantor.
Meski kadang ada saja kendala yang
menghadang seperti kenaikan harga bahan baku. tak kenal lelah dia dan
keluarga terus menjalankan usahanya. Hingga 14 tahun sampai sekarang dia
telah memiliki 12 orang karyawan yang membantunya memasak, dan 7 orang
yang menjadi agen penjual.
“Dulu rumah semi permanen, dapur hanya
batu-batu saja. Sekarang rumah sudah ada, mobil, sawah dan tanah,”
katanya seraya bersyukur.
Banyak produk yang dibuat oleh Erika,
tak hanya rendang basah yang menjadi salah satu menu favorit restoran
Padang, tapi juga ada rendang telur, rendang suwir, juga rendang paru.
Harganya pun bervariasi, rendang basah
dijual Rp 200 ribu/kg, sama dengan rendang paru. Sedangkan rendang telur
dijual Rp 40 ribu, meski di pameran-pameran, Erika sengaja menaikkan
harga.
“Tidak ada resep khusus, saya buat hanya pakai bumbu rendang biasa,” katanya sambil sesekali melayani pembeli.
Dalam sehari, Erika bisa memproduksi 80
kg rendang telur, 20 kg rendang daging dan 10 kg rendang paru. Rendang
daging dan rendang paru bisa tahan sampai 3 bulan, dan rendang telur 1
bulan. Banyak orang yang membeli produknya untuk disimpan dan dimakan
kemudian hari.
“Yang naik haji bisa bawa buat bekal. Biasanya ramai kalau musim haji,” kata warga Payakumbuh ini.
Tak hanya di Indonesia, salah satu agen
penjualnya menjajakan makanan khas ini ke negeri tetangga, Malaysia.
“Tapi agak sepi,” kata ibu 51 tahun ini.
Bisnis dan kisah suksesnya berjualan
rendang menjadi pemicu semangat warga Payakumbuh lain. Sekarang sudah
banyak warga Payakumbuh yang berjualan produk serupa, yaitu memproduksi
rendang menjadi suatu industri daerah Payakumbuh.
Copyright : detik.com
- See more at: http://kisahsukses.info/kisah-sukses-ibu-erika-dengan-bisnis-rendang-lezat-tahan-lama.html#sthash.VP8Vok73.dpufKisah Sukses Andri Aryansah “Ado” Merintis Usaha Merchandise
Semuanya dilalui dengan tidak
menyenangkan. Ia masih ingat bagaimana harus sering memakai sandal jepit
untuk sekolah jika musim hujan, sebab sepatu Ado hanya satu. Jika basah
ia tak punya sepatu pengganti dan terpaksa mengenakan sandal.
Ia juga masih ingat dengan lekat
bagaimana rasanya berjalan kaki ketika ke sekolah dan bermain, sementara
teman-temannya bergembira naik sepeda. Itulah sedikit pengalaman
pahitnya di masa kecil, dari sekian banyak pengalaman pahit yang
dirasakannya.
Kesedihan Ado berujung ketika ia lulus
SD pada 1999. Bapaknya yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan tak
mampu membiayai lagi sekolahnya. Dengan terpaksa dia tidak melanjutkan
jenjang SMP. Dua tahun kemudian, ia meninggalkan kota kelahirannya Garut
menuju Bandung untuk mengadu nasib. Alasannya dia tak mau merepotkan
orangtuanya.
Pekerjaan pertamanya di Bandung bukanlah
pekerjaan yang membanggakan bagi seorang remaja sepertinya. Ia menjadi
pembantu rumah tangga (PRT) di daerah Dipati Ukur, Bandung.
Pekerjaan itu dia lalui selama tiga
tahun. Pada 2004 Ado “naik pangkat” dengan bekerja di Record Man, sebuah
toko pakaian yang identik dengan musik cadas. Kejujuran dan kerja
kerasnya membuat Ado dipromosikan hingga menjadi manajer toko tersebut.
Setelah bekerja di Record Man selama 7 tahun, Ado memutuskan untuk
keluar dari tempatnya bekerja. “Saya sih tidak mau terus-terusan kerja
pada orang. Ingin punya usaha sendiri. Lagipula saya sudah punya
pengalaman di bidang pakaian, jadi tahu seluk-beluk bisnisnya,” kata
Aldo.
Bermodal tabungan sebesar Rp 2,5 juta ia
mulai menyewa los di Plaza Parahyangan berukuran 3×3 dengan biaya sewa
Rp 1,4 juta. Meski baru pertama menjalankan usaha, Ado mengaku yakin
bahwa dia akan berhasil. Meski modal uangnya sedikit, Ado memiliki modal
lain yang lebih penting dari uang yaitu pengalaman dan jaringan.
Ia punya pengalaman selama 7 tahun di
industri ini dan ia punya jaringan pemasok maupun pelanggan. Ado
menggandeng teman-temannya musisi musik metal untuk dibuatkan
merchandise. Ado merupakan seorang pengemar musik cadas. Usaha
merchandise tersebut ternyata membawa berkah bagi dirinya. Dalam waktu
relatif singkat usahanya menanjak.
Sebagai pengusaha, Ado belajar melihat
tren di pasaran. Ketika persaingan di bisnis merchandise band mulai
ketat, Ado mencari ide lain. Dia pun kemudian melakukan diversifikasi
desain kaos dengan membuat desain-desain bergaya Sunda. Tapi kaos
bergaya metal tetap dia jalankan. Kejelian melihat peluang inilah yang
membuat Ado bisa bertahan hingga sekarang. Perlahan tapi pasti, usahanya
terus berkembang. Omzet yang awalnya jutaan berkembang menjadi belasan
dan puluhan juta rupiah. Dan sekarang menurut Ado angkanya sudah
menyentuh Rp 100 juta per bulan. Meski usahanya sudah maju dan omzetnya
menggelembung, tapi Ado mengaku tetap hidup sederhana. Pengalaman di
masa lalu mengajarinya untuk hidup sederhana. Kesabaran dan keuletan Ado
terbayar sekarang ini.
Pesan : Success is my right!
Begitu slogan seorang motivator kondang tentang sebuah kesuksesan. Yah,
kata-kata itu bukan bualan belaka, siapa pun berhak untuk sukses, apa
pun latar belakangnya
Sumber : http://forum.detik.com
Kisah Sukses Andri Aryansah “Ado” Merintis Usaha Merchandise
Semuanya dilalui dengan tidak
menyenangkan. Ia masih ingat bagaimana harus sering memakai sandal jepit
untuk sekolah jika musim hujan, sebab sepatu Ado hanya satu. Jika basah
ia tak punya sepatu pengganti dan terpaksa mengenakan sandal.
Ia juga masih ingat dengan lekat
bagaimana rasanya berjalan kaki ketika ke sekolah dan bermain, sementara
teman-temannya bergembira naik sepeda. Itulah sedikit pengalaman
pahitnya di masa kecil, dari sekian banyak pengalaman pahit yang
dirasakannya.
Kesedihan Ado berujung ketika ia lulus
SD pada 1999. Bapaknya yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan tak
mampu membiayai lagi sekolahnya. Dengan terpaksa dia tidak melanjutkan
jenjang SMP. Dua tahun kemudian, ia meninggalkan kota kelahirannya Garut
menuju Bandung untuk mengadu nasib. Alasannya dia tak mau merepotkan
orangtuanya.
Pekerjaan pertamanya di Bandung bukanlah
pekerjaan yang membanggakan bagi seorang remaja sepertinya. Ia menjadi
pembantu rumah tangga (PRT) di daerah Dipati Ukur, Bandung.
Pekerjaan itu dia lalui selama tiga
tahun. Pada 2004 Ado “naik pangkat” dengan bekerja di Record Man, sebuah
toko pakaian yang identik dengan musik cadas. Kejujuran dan kerja
kerasnya membuat Ado dipromosikan hingga menjadi manajer toko tersebut.
Setelah bekerja di Record Man selama 7 tahun, Ado memutuskan untuk
keluar dari tempatnya bekerja. “Saya sih tidak mau terus-terusan kerja
pada orang. Ingin punya usaha sendiri. Lagipula saya sudah punya
pengalaman di bidang pakaian, jadi tahu seluk-beluk bisnisnya,” kata
Aldo.
Bermodal tabungan sebesar Rp 2,5 juta ia
mulai menyewa los di Plaza Parahyangan berukuran 3×3 dengan biaya sewa
Rp 1,4 juta. Meski baru pertama menjalankan usaha, Ado mengaku yakin
bahwa dia akan berhasil. Meski modal uangnya sedikit, Ado memiliki modal
lain yang lebih penting dari uang yaitu pengalaman dan jaringan.
Ia punya pengalaman selama 7 tahun di
industri ini dan ia punya jaringan pemasok maupun pelanggan. Ado
menggandeng teman-temannya musisi musik metal untuk dibuatkan
merchandise. Ado merupakan seorang pengemar musik cadas. Usaha
merchandise tersebut ternyata membawa berkah bagi dirinya. Dalam waktu
relatif singkat usahanya menanjak.
Sebagai pengusaha, Ado belajar melihat
tren di pasaran. Ketika persaingan di bisnis merchandise band mulai
ketat, Ado mencari ide lain. Dia pun kemudian melakukan diversifikasi
desain kaos dengan membuat desain-desain bergaya Sunda. Tapi kaos
bergaya metal tetap dia jalankan. Kejelian melihat peluang inilah yang
membuat Ado bisa bertahan hingga sekarang. Perlahan tapi pasti, usahanya
terus berkembang. Omzet yang awalnya jutaan berkembang menjadi belasan
dan puluhan juta rupiah. Dan sekarang menurut Ado angkanya sudah
menyentuh Rp 100 juta per bulan. Meski usahanya sudah maju dan omzetnya
menggelembung, tapi Ado mengaku tetap hidup sederhana. Pengalaman di
masa lalu mengajarinya untuk hidup sederhana. Kesabaran dan keuletan Ado
terbayar sekarang ini.
Pesan : Success is my right!
Begitu slogan seorang motivator kondang tentang sebuah kesuksesan. Yah,
kata-kata itu bukan bualan belaka, siapa pun berhak untuk sukses, apa
pun latar belakangnya
Sumber : http://forum.detik.com
Kisah Sukses Andri Aryansah “Ado” Merintis Usaha Merchandise
Semuanya dilalui dengan tidak
menyenangkan. Ia masih ingat bagaimana harus sering memakai sandal jepit
untuk sekolah jika musim hujan, sebab sepatu Ado hanya satu. Jika basah
ia tak punya sepatu pengganti dan terpaksa mengenakan sandal.
Ia juga masih ingat dengan lekat
bagaimana rasanya berjalan kaki ketika ke sekolah dan bermain, sementara
teman-temannya bergembira naik sepeda. Itulah sedikit pengalaman
pahitnya di masa kecil, dari sekian banyak pengalaman pahit yang
dirasakannya.
Kesedihan Ado berujung ketika ia lulus
SD pada 1999. Bapaknya yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan tak
mampu membiayai lagi sekolahnya. Dengan terpaksa dia tidak melanjutkan
jenjang SMP. Dua tahun kemudian, ia meninggalkan kota kelahirannya Garut
menuju Bandung untuk mengadu nasib. Alasannya dia tak mau merepotkan
orangtuanya.
Pekerjaan pertamanya di Bandung bukanlah
pekerjaan yang membanggakan bagi seorang remaja sepertinya. Ia menjadi
pembantu rumah tangga (PRT) di daerah Dipati Ukur, Bandung.
Pekerjaan itu dia lalui selama tiga
tahun. Pada 2004 Ado “naik pangkat” dengan bekerja di Record Man, sebuah
toko pakaian yang identik dengan musik cadas. Kejujuran dan kerja
kerasnya membuat Ado dipromosikan hingga menjadi manajer toko tersebut.
Setelah bekerja di Record Man selama 7 tahun, Ado memutuskan untuk
keluar dari tempatnya bekerja. “Saya sih tidak mau terus-terusan kerja
pada orang. Ingin punya usaha sendiri. Lagipula saya sudah punya
pengalaman di bidang pakaian, jadi tahu seluk-beluk bisnisnya,” kata
Aldo.
Bermodal tabungan sebesar Rp 2,5 juta ia
mulai menyewa los di Plaza Parahyangan berukuran 3×3 dengan biaya sewa
Rp 1,4 juta. Meski baru pertama menjalankan usaha, Ado mengaku yakin
bahwa dia akan berhasil. Meski modal uangnya sedikit, Ado memiliki modal
lain yang lebih penting dari uang yaitu pengalaman dan jaringan.
Ia punya pengalaman selama 7 tahun di
industri ini dan ia punya jaringan pemasok maupun pelanggan. Ado
menggandeng teman-temannya musisi musik metal untuk dibuatkan
merchandise. Ado merupakan seorang pengemar musik cadas. Usaha
merchandise tersebut ternyata membawa berkah bagi dirinya. Dalam waktu
relatif singkat usahanya menanjak.
Sebagai pengusaha, Ado belajar melihat
tren di pasaran. Ketika persaingan di bisnis merchandise band mulai
ketat, Ado mencari ide lain. Dia pun kemudian melakukan diversifikasi
desain kaos dengan membuat desain-desain bergaya Sunda. Tapi kaos
bergaya metal tetap dia jalankan. Kejelian melihat peluang inilah yang
membuat Ado bisa bertahan hingga sekarang. Perlahan tapi pasti, usahanya
terus berkembang. Omzet yang awalnya jutaan berkembang menjadi belasan
dan puluhan juta rupiah. Dan sekarang menurut Ado angkanya sudah
menyentuh Rp 100 juta per bulan. Meski usahanya sudah maju dan omzetnya
menggelembung, tapi Ado mengaku tetap hidup sederhana. Pengalaman di
masa lalu mengajarinya untuk hidup sederhana. Kesabaran dan keuletan Ado
terbayar sekarang ini.
Pesan : Success is my right!
Begitu slogan seorang motivator kondang tentang sebuah kesuksesan. Yah,
kata-kata itu bukan bualan belaka, siapa pun berhak untuk sukses, apa
pun latar belakangnya
Sumber : http://forum.detik.com
Kisah Sukses Andri Aryansah “Ado” Merintis Usaha Merchandise
Semuanya dilalui dengan tidak
menyenangkan. Ia masih ingat bagaimana harus sering memakai sandal jepit
untuk sekolah jika musim hujan, sebab sepatu Ado hanya satu. Jika basah
ia tak punya sepatu pengganti dan terpaksa mengenakan sandal.
Ia juga masih ingat dengan lekat
bagaimana rasanya berjalan kaki ketika ke sekolah dan bermain, sementara
teman-temannya bergembira naik sepeda. Itulah sedikit pengalaman
pahitnya di masa kecil, dari sekian banyak pengalaman pahit yang
dirasakannya.
Kesedihan Ado berujung ketika ia lulus
SD pada 1999. Bapaknya yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan tak
mampu membiayai lagi sekolahnya. Dengan terpaksa dia tidak melanjutkan
jenjang SMP. Dua tahun kemudian, ia meninggalkan kota kelahirannya Garut
menuju Bandung untuk mengadu nasib. Alasannya dia tak mau merepotkan
orangtuanya.
Pekerjaan pertamanya di Bandung bukanlah
pekerjaan yang membanggakan bagi seorang remaja sepertinya. Ia menjadi
pembantu rumah tangga (PRT) di daerah Dipati Ukur, Bandung.
Pekerjaan itu dia lalui selama tiga
tahun. Pada 2004 Ado “naik pangkat” dengan bekerja di Record Man, sebuah
toko pakaian yang identik dengan musik cadas. Kejujuran dan kerja
kerasnya membuat Ado dipromosikan hingga menjadi manajer toko tersebut.
Setelah bekerja di Record Man selama 7 tahun, Ado memutuskan untuk
keluar dari tempatnya bekerja. “Saya sih tidak mau terus-terusan kerja
pada orang. Ingin punya usaha sendiri. Lagipula saya sudah punya
pengalaman di bidang pakaian, jadi tahu seluk-beluk bisnisnya,” kata
Aldo.
Bermodal tabungan sebesar Rp 2,5 juta ia
mulai menyewa los di Plaza Parahyangan berukuran 3×3 dengan biaya sewa
Rp 1,4 juta. Meski baru pertama menjalankan usaha, Ado mengaku yakin
bahwa dia akan berhasil. Meski modal uangnya sedikit, Ado memiliki modal
lain yang lebih penting dari uang yaitu pengalaman dan jaringan.
Ia punya pengalaman selama 7 tahun di
industri ini dan ia punya jaringan pemasok maupun pelanggan. Ado
menggandeng teman-temannya musisi musik metal untuk dibuatkan
merchandise. Ado merupakan seorang pengemar musik cadas. Usaha
merchandise tersebut ternyata membawa berkah bagi dirinya. Dalam waktu
relatif singkat usahanya menanjak.
Sebagai pengusaha, Ado belajar melihat
tren di pasaran. Ketika persaingan di bisnis merchandise band mulai
ketat, Ado mencari ide lain. Dia pun kemudian melakukan diversifikasi
desain kaos dengan membuat desain-desain bergaya Sunda. Tapi kaos
bergaya metal tetap dia jalankan. Kejelian melihat peluang inilah yang
membuat Ado bisa bertahan hingga sekarang. Perlahan tapi pasti, usahanya
terus berkembang. Omzet yang awalnya jutaan berkembang menjadi belasan
dan puluhan juta rupiah. Dan sekarang menurut Ado angkanya sudah
menyentuh Rp 100 juta per bulan. Meski usahanya sudah maju dan omzetnya
menggelembung, tapi Ado mengaku tetap hidup sederhana. Pengalaman di
masa lalu mengajarinya untuk hidup sederhana. Kesabaran dan keuletan Ado
terbayar sekarang ini.
Pesan : Success is my right!
Begitu slogan seorang motivator kondang tentang sebuah kesuksesan. Yah,
kata-kata itu bukan bualan belaka, siapa pun berhak untuk sukses, apa
pun latar belakangnya
Sumber : http://forum.detik.com
No comments:
Post a Comment